MENGAPA SAYA MENOLAK KETUHANAN JESUS DAN TRITUNGGAL ?




Oleh : Om Armansyah Skom

Kitab Perjanjian Baru : 2Ti 3:16 menyatakan :

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan,
untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.

Intinya : Mustahil bila Dia (baca : Tuhan) menurunkan sebuah ajaran kepada umat-Nya sesuatu yang justru tidak bisa dimengerti, tidak bisa dipahami oleh mereka … padahal tujuan dari keberadaan ajaran itu ditengah umat justru untuk menjadi petunjuk dalam mengenal-Nya, dalam mengimani-Nya dan petunjuk agar umat itu sendiri tidak melangkah kejalan yang salah, sesat dan terjebak dalam tipu daya Iblis.

Lalu bagaimana sebuah ajaran bisa dipahami jika ajaran itu sendiri justru Is Not Easy to fathom theologically ?
Logiskah bila kita diberikan kepercayaan untuk mengoperasikan motor Yamaha Jupiter Z tetapi nyatanya kita diberikan panduan (atau buku manual) milik mobil Suzuki Karimun ?

Atau kita ambil persamaan lainnya, misal, anak SD kelas 1 diberi pelajaran Kalkulus, Aljabar Linear, Matematika Diskriet dan Fisika Quantum yang noatebene merupakan pelajaran ditingkat mahasiswa strata satu, dua dan tiga, kira-kira apa yang terjadi ?

Secara universal atau umum yang anda, saya maupun semua orang ( lepas dari agama apapun yang dianutnya ) pasti setuju, bahwa hal yang demikian merupakan sebuah kerancuan kurikulum dan kesia-siaan serta bisa dipertanyakan balik validitas ke-ilmuan dan psikologis dari sipembuat kurikulum.

1 Telasonika 5:21 : Hendaklah segala perkara kamu uji dan yang baik kamu pegang.”Ujilah terlebih dahulu segala sesuatu sebelum diterima, artinya, anda tidak boleh menerima sesuatu secara begitu saja, harus ada cek dan riceknya, anda harus mengerti apa yang akan anda pedomani.

Mengikuti sesuatu yang mudah dimengerti akan jauh lebih memuaskan daripada mengikuti sesuatu yang tidak dimengerti atau tidak diketahui. Jangan sampai ibarat kata pepatah – tetapi maaf tidak bermaksud menyinggung – membeli kucing didalam karung, ketika dikeluarkan ternyata isinya malah harimau.

Tuhan merupakan sumber dari segala sumber yang ada dan berproses dalam kehidupan ini, baik itu yang bersifat kebaikan ataupun yang bersifat keburukan, sebab baik dan buruk itu sendiri adalah wujud dari keberadaan makhluk yang Dia ciptakan sejak awalnya. Selanjutnya makhluk-makhluk ini bertugas memanajerial hal-hal yang baik dan buruk tersebut agar mampu menempatkan dominasinya dalam diri mereka masing-masing.

Dalam perspektif saya, Allah itu justru ingin adanya keteraturan dalam semua proses hidup dan kehidupan didunia ini. Dan itu hanya bisa terjadi apabila Dia sendiri menjadikan segala sesuatunya itu secara logis dan bisa dimengerti atau bisa dipelajari. Misalnya saya ambil contoh kongkret, kenapa Tuhan toh masih butuh waktu sekian hari untuk sebuah proses penciptaan alam semesta ? kenapa Dia tidak menjadikannya dengan sekali jadi saja ? apakah Dia tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya ? Setahu saya, alkitab ataupun al-Qur’an dalam hal ini sepakat bila alam semesta dijadikan dengan tahapan waktu dan bukan sekali jadi.Hal itulah yang lalu menumbuhkan asumsi-asumsi kepada saya bahwa Allah itu ingin semuanya berjalan secara logis sehingga kehendak-kehendak-Nya itu bisa diterima dengan wajar dan membuat kita semakin kagum terhadap diri-Nya.

Samalah misalnya kita ambil contoh lain tentang penciptaan diri Yesus atau Isa al-Masih, toh, Allah memulainya dari mengirimkan malaikat kepada Maria sang ibunda untuk memberikan kabar suka cita, lalu kemudian Maria melalui proses Parthenogenesenya menjadi hamil dan mulai mengandung sama seperti wanita-wanita lainnya mengandung dan ketika sudah tiba waktunya lahirlah bayi Yesus terus dengan semua proses perkembangan alamiahnya dia kemudian menjadi besar dan membutuhkan proses belajar dari ahli-ahli Taurat sampai kemudian sekian puluh tahun kemudian dia menjadi orang yang mampu menjadi seorang al-Masih dikalangan umatnya, Bani Israel.Semua itu melalui tahapan-tahapan, melalui proses demi proses … sehingga kalimah : tidak ada yang mustahil bagi Tuhan sudah sewajarnya kita tempatkan pada proporsi yang seharusnya dan tidak menyimpang dari kausalitas yang sudah Dia tentukan sendiri dalam menjaga keseimbangan tatanan-tatanan penciptaan-Nya.

Saat saya mengatakan bahwa agama itu teori dan praktek maka itu artinya kedua hal tersebut saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan. Bisa jadi suatu praktek itu salah tapi teorinya benar dan dilain waktu praktek benar tetapi tidak sesuai teori atau juga praktek salah karena teori juga salah.Kitab suci dalam hal ini saya sebut sebagai teori, dan dari kitab suci inilah maka muncul praktek dilapangan yang menimbulkan dinamisisasi atau stagnanisasi. Tetapi bila kita sejenak mundur sedikit kebelakang, maka saya berpikiran tidak salah untuk mempelajari kebenaran dari teori yang disampaikan oleh kitab suci itu sendiri. Sebab bukan tidak mungkin apa yang kita yakini sebagai kitab suci ternyata tidaklah benar-benar suci. Dalam artian bahwa apa yang kita sangka sebagai kumpulan dari wahyu-wahyu, ilham-ilham dari yang maha kuasa ternyata tidak lebih dari penggalan catatan-catatan manusia biasa yang “cacat” dan penuh distorsi. Olehnya maka tidaklah tepat untuk membenarkan teori A dengan teori A itu sendiri.

Dalam hidup ini kita semua punya parameter yang pasti untuk dapat menentukan benar atau salah dari suatu keadaan, parameter tersebut tidak lain dari akal, dengan akal kita dapat mengenal berbagai macam bentuk ekosistem yang ada, dengan akal misalnya kita bisa membedakan antara si A dengan si B, dengan akal pula kita bisa membedakan antara anjing dengan manusia … begitulah seterusnya dan siapapun sepakat bahwa secara akal pun kita bisa menilai sejauh mana sesuatu itu bisa bersifat benar dan sejauh apa pula sesuatu itu bisa disebut salah.

Dalam hal agama serta ketuhanan, semua agama pasti mendogmakan agamanya saja yang paling benar, orang Islam bilang Islamlah yang paling benar, orang kristen bilang kristenlah yang benar, orang budha akan berkata budhalah yang benar dan demikianlah adanya klaim-klaim dari semua agama dan ajaran yang ada, tidak ada yang memproklamirkan ajarannya sesat, ajarannya salah … sangat egois memang, tetapi begitulah fakta dan begitulah sunnatullahnya.

Kita tidak mungkin bisa membedakan mana dogma yang benar dan mana dogma yang salah dengan berdasarkan dogma juga (baca: Iman), artinya seseorang tidak bisa berdalih dibelakang kata ” iman ” untuk membenarkan dogma yang ia anut, sebab sekali lagi kata ” iman ” ini adalah bagian dari dogma yang ada, dan setiap pemeluk masing-masing agama bisa berkata yang sama, akibatnya jika dipaksakan dan dibenturkan secara emosional bisa dipastikan akan kacaulah apa yang disebut sebagai kebenaran yang sejati (toh akhirnya kebenaran menjadi sangat relatif dan subyektif padahal kebenaran itu sifatnya absolut atau pasti).Akhirnya, semua doktrin keagamaan termasuk dogma ketuhanan sekalipun tidak berarti apa-apa jika tidak bisa dicerna secara ilmu melalui akal pikiran yang ada pada manusia, dan inilah sikap rasionalitas keber-agamaan yang saya anut.

Konsep ini pernah digunakan oleh orang-orang Muktazilah dan juga sebagian komunitas Syiah pada masanya. Tetapi saya bukan bagian dari mereka meskipun ada kesamaan dalam hal metode pembelajaran agama yang digunakan.

Anda boleh berkata saya orang yang sombong atau apapun jenisnya, tidak jadi persoalan buat saya karena bagi saya Tuhan tidak akan membebani umat-Nya dengan hal-hal yang tidak bisa mereka mengerti dengan kondisi yang ada pada mereka. Kebenaran sejati hanya bisa didapatkan melalui jalan belajar, dan belajar identik dengan ilmu sementara ilmu merupakan tempatnya akal bekerja.Hanya melalui akal saja maka masing-masing klaim dari dogma agama-agama yang ada itu bisa dijustifikasi benar dan salahnya.

Hidup ini penuh dengan hukum-hukum keseimbangan, coba anda pelajari apa saja, pasti tidak akan anda dapati kepincangan dalam perputaran hukum-hukum alam tersebut.

Begitu pula dengan hal keimanan kepada Allah, mesti diraih dengan keseimbangan, yaitu antara akal (rasio logika + ilmu pengetahuan) dan hati.

Kebenaran adalah sesuatu yang bernilai absolut, mutlak.
Namun seringkali kebenaran ini menjadi relatif, bergantung kepada bagaimana cara masing-masing orang memberikan arti dan penilaian terhadap kebenaran itu sendiri, sehingga itu pula kebenaran sudah menjadi sesuatu yang bersifat subjektif.

Bahwa untuk menjalankan ketentuan suatu agama terkadang harus dimulai dengan kata iman memang sering menjadi sesuatu hal yang tidak dapat terbantahkan.

Keadaan beriman sesorang umumnya berada dalam kondisi “jadi” dari seseorang itu (sebab ini akan kembali dari lingkungan mana ia dilahirkan).

Namun seiring dengan bertambah dewasanya cara kita berpikir, sangat pantas sekali apabila kita mencoba mempertanyakan sejauh mana kebenaran dari keberimanan yang kita peroleh dari kondisi ‘jadi’ tadi.

Tuhan memberikan kita akal untuk berpikir, untuk menjadi cerdas bukan untuk jadi figuran dan sekedar ikut-ikutan.

Karenanya kita berdua tidak bisa mengatakan kondisi beriman tersebut ada karena lewat iman.
Pernyataan ini tertolakkan dalam dunia ilmiah dan bertentangan dengan penalaran saya selaku manusia yang fitrah.

Menurut saya, sebenarnya seseorang memperoleh keimanannnya lewat dua jalur, ada yang lewat akal dan ada yang lewat nafsu (nafsu dalam hal ini adalah persangkaan atau praduga manusia).

Jika iman diartikan percaya, maka percaya juga bisa lewat akal atau persangkaan.
Misalnya apabila kita hendak melewati sebuah jembatan dari besi, tentu kita akan enteng saja melewatinya, karena persangkaan kita jembatan tersebut sudah kuat. Tetapi bila yang dilewati adalah jembatan dari kayu dan tali, paling tidak kita akan mengecek kekuatan jembatan tersebut terlebih dahulu (menginjak-injak dari pinggir terlebih dahulu dsb )

Dalam beragama pun demikian, terdapat orang-orang yang mencapai iman dengan akal, dan ada yang dengan persangkaan.

Misalnya yang dengan persangkaan adalah seorang islam yang tidak mampu menjawab pertanyaan ” Mengapa anda memilih Islam ?”, “Darimana anda tahu bahwa Islam itu benar ?”, ” jika dahulunya orang tua anda bukan Islam kira-kira apakah anda masih Islam ?”, atau bisa juga “mengapa anda harus menjadi Kristen ?”, “Darimana anda yakin bahwa Kristen itu benar ?”

Jadi bagi saya, Iman terhadap sesuatu itu tetap harus dibuktikan dulu apakah memang pengimanan tersebut sudah benar atau belum. Dan jalan untuk membuktikan kebenaran akan keimanan ini salah satunya dengan mengadakan penelaahan terhadap iman itu sendiri dengan mengadakan penyeimbangan dengan akal pikiran sebagai suatu anugerah dari Allah bagi manusia.

Tuhan menjadikan alam semesta ini dengan ilmu-Nya, dan Dia telah mengukur keseimbangan masing-masing komposisi ciptaan-Nya itu secara proporsional dan adil. Demikian pula halnya dengan penciptaan manusia. Ini sudah dibahas oleh kitab anda sendiri di Genesis pasal 3 ayat 22 : “Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat”. Inilah fitrah awal manusia, mereka sudah disetting untuk memiliki ilmu. DImana dengan ilmu itu manusia menjadi mengerti dan dapat memisahkan kebaikan dengan kejahatan. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam al-Qur’an surah Asy-Syams ayat 7 dan 8 :

“Wa nafsin wama sawwaha, fa alhamaha fujuroha wa taqwaha”
Dan Nafs serta penyempurnaannya, dilhamkan kepadanya kefasikan serta ketakwaan…

Oleh karena itu juga maka II Timotius pasal 3 ayat 16 menyatakan bila kitab suci sendiripun termasuk hal-hal yang dapat dipelajari dengan ilmu : “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran”.

Tuhan itu Maha Pintar, dan Dia ingin kita sebagai makhluk-Nya pun mencontoh kepintaran yang sudah Dia ilhamkan dan Dia ajarkan melalui ayat-ayat-Nya, baik itu yang sifatnya kontekstual ( seperti kitab suci ) ataupun global ( seperti alam semesta ini dan semua hal disetiap proses kausalitasnya ).; Karenanya, Tuhanpun pasti akan menyesuaikan dan membagikan ilmu-Nya sesuai tingkat yang bisa dicapai maupun bisa dipahami oleh kita yang memang notabene tidak berarti apa-apa dibanding Dia.

Tuhan misalnya mengilhamkan dan menurunkan ilmu matematika didunia ini tentunya selain untuk ilmu duniawiah, Dia juga punya misi khusus untuk membuat ilmu matematika itu sebagai salah satu jalan menggapai dan mengenal diri-Nya.; karena itu, bila dalam matematika kita mengenal satu ditambah satu sama dengan dua, maka itulah kepastiannya dan selamanya tidak akan mungkin berubah kecuali faktor-faktor atau operasionalnya dirubah menjadi perkalian atau sebagainya.

Kalau kita lihat kenyataan saat ini semua pengetahuan manusia yang didijitalkan maka semuanya akan melulu kombinasi 10101010 yang tak lebih dari pernyataan bahwa semua ilmu pengetahuan adalah ilmu pengetahuan Allah Yang Maha Esa. Ketika Anda melihat televisi, mendengarkan radio, berselancar di internet, melihat situs porno, mengetikkan e-mail, menulis artikel, atau apapun aktivitas yang Anda lakukan dengan perangkat elektronik maka semua itu tak lebih dari sinyal-sinyal 10101010.

Dalam kenyataan yang lebih mengejutkan, tubuh kita dan otak kitapun tak lebih dari biokomputer yang menguraikan semua tangkapan sistem inderawi kita dalam kode-kode biner 101010 dari semua informasi dan pengetahuan yang kita ekstrak melalui cahaya yang tertangkap sinyalnya dari sekeliling kita. Apakah indera itu mata, telinga, hidung, kulit ataupun perasaan kita, semua itu tak lebih dari kode-kode biner atau suatu penauhidan atas Allah Yang Maha Esa.

Allah itu ingin adanya keteraturan dalam semua proses hidup dan kehidupan didunia ini. Dan itu hanya bisa terjadi apabila Dia sendiri menjadikan segala sesuatunya itu secara logis dan bisa dimengerti atau bisa dipelajari.

Misalnya, kenapa Tuhan toh masih butuh waktu sekian hari untuk sebuah proses penciptaan alam semesta ? kenapa Dia tidak menjadikannya dengan sekali jadi saja ? apakah Dia tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya ?

Ya tentu tidak demikian, khan.
Itu semua menumbuhkan asumsi-asumsi kepada kita bahwa Allah itu ingin semuanya berjalan secara logis sehingga kehendak-kehendak-Nya itu bisa diterima dengan wajar dan membuat kita semakin kagum terhadap diri-Nya.

Samalah misalnya kita ambil contoh lain tentang penciptaan diri Yesus, toh, Allah memulainya dari mengirimkan malaikat kepada Maria sang ibunda untuk memberikan kabar suka cita, lalu kemudian Maria melalui proses Parthenogenesenya menjadi hamil dan mulai mengandung sama seperti wanita-wanita lainnya mengandung dan ketika sudah tiba waktunya lahirlah bayi Yesus terus dengan semua proses perkembangan alamiahnya dia kemudian menjadi besar dan membutuhkan proses belajar dari ahli-ahli Taurat sampai kemudian sekian puluh tahun kemudian dia menjadi orang yang mampu menjadi seorang al-Masih dikalangan umatnya, Bani Israel.

Semua itu melalui tahapan-tahapan, melalui proses demi proses … sehingga kalimah : tidak ada yang mustahil bagi Tuhan sudah sewajarnya kita tempatkan pada proporsi yang seharusnya dan tidak menyimpang dari kausalitas yang sudah Dia tentukan sendiri dalam menjaga keseimbangan tatanan-tatanan penciptaan-Nya.

“Allah adalah Allah yang suka akan ketertiban; Ia bukan Allah yang suka pada kekacauan. Seperti yang berlaku di dalam semua jemaat Allah.” (1 Korintus 14:33 Bahasa Indonesia sehari-hari)

Intinya, iman yang buta tidak bisa dijadikan sandaran dalam beragama :
1 Telasonika 5:21 : “Hendaklah segala perkara kamu uji dan yang baik kamu pegang.”Kita hanya bisa sampai kepada Tuhan apabila jalan yang kita tempuh juga benar, dan untuk tahu benar tidaknya maka gunakan akal untuk menganalisanya, apabila sesudah dianalisa dengan akal kebenaran itu tertolakkan maka bisa jadi dia bukan kebenaran sejati.Akal diberikan oleh Allah untuk berpikir, membedakan mana yang salah dan mana yang benar.Tanpa akal, manusia tidak lebih dari sekedar hewan yang tidak pernah memikirkan benar salah tindakannya bahkan mungkin jauh lebih sesat daripada itu.Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul kedunia untuk memberikan petunjuk kepada manusia agar memilih jalan kebenaran, dan petunjuk Allah itu hanya bisa diterima oleh orang-orang yang mau untuk berpikir tentang hakikat kebenaran sejati. Dan berpikir yang benar didalam penerimaan tersebut adalah berpikir yang tidak hanya merenung atau asal-asalan, namun berusaha untuk mengerti, mempelajari, menyelidiki, memahami serta mengamalkan.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (Qs. al-Israa’ 17:36)

Menisbikan peranan akal pikiran untuk menggapai keimanan sama sekali tidak layak kita terapkan, sebab hal ini akan menyamakan kedudukan kita dengan para penyembah berhala yang tidak pernah mau tahu tentang benar salahnya keimanan mereka, yang jelas mereka harus menerima dan yakin.

Kenapa saya menolak Trinitas dan apakah saya terpengaruh oleh doktrin ketuhanan didalam Islam atau Yahudi ? Itu sudah jelas bahwa konsep ketuhanan trinitas tidak bisa saya terima dengan akal saya dan keterbatasan saya sebagai manusia. Saya hanya membodohi diri saja bila terus memaksakan diri untuk menerimanya secara bulat tanpa bisa dan boleh mengkritiknya.

Saya adalah seorang muslim, orang yang berserah diri pada Allah, Tuhan yang Maha Esa, tidak bisa disetarakan dengan apa dan siapapun, Tuhan yang bisa saya cerna dengan akal saya, karena itu saya bangga menjadi muslim dan akan tetapi mati sebagai seorang muslim : “Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, (QS. Al-An’am [6] :162)

Saya tidak akan pernah menyembah makhluk manapun sebagai tuhan saya, tidak juga yesus yang anda pertuhankan itu. Sebab sudah tegas konsep Tauhid sejati :

Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu
(Kitab Keluaran pasal 20 ayat 3 s/d 5)

Hukum yang terutama ialah: Dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa (Markus pasal 12 ayat 29)

Tuhan secara filsafat adalah tuhan dalam bentuk yang terlalu bervariasi sebagaimana bisa dibaca melalui pendapat para filosof yang ada (sebut saja nama socrates, plato, aristoteles, descartes atau juga kant dan bandingkan semua konsepsi filsafat mereka tentang tuhan). Saya lebih memilih ranah akal atau rasio untuk memahami Tuhan dan menemukan eksistensi kebenaran Dia. Ini juga yang pernah ditempuh oleh ilmuwan besar dunia Isaac Newton (1642-1727) yang juga terkenal dengan karyanya yang mengkritik ajaran Trinitas dengan judul “An Historical Account of Two Notable Corruption of Scripture” artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Sebuah catatan sejarah tentang dua penyelewengan pokok terhadap kitab suci”. Newton pernah berkata :

Bagi mereka yang mampu, biarlah mereka mengambil kebaikan dari kontroversi tersebut. Untuk saya sendiri, saya tidak bisa mengambil apa-apa darinya. Jika dikatakan bahwa kita tidak boleh menentukan maksud dari kitab suci dan apa yang tidak bisa ditentukan oleh penilaian-penilaian kita, maka saya mengatakan bahwa bukanlah tempatnya dipertentangkan. Tetapi pada bidang-bidang yang dipertentangkan, saya menyukai untuk mengambil apa yang paling saya mengerti. Adalah sikap keras dan sisi takhayul dari manusia dalam masalah-masalah agama menjadi bukti misteri-misteri tersebut.